Riset sebagai salah satu penopang gerakan politik belum mendapat tempat dalam kerja-kerja kaum kiri Indonesia—paling tidak saat ini. Riset yang saya maksud adalah riset sosial yang didalamnya mencakup tiga hal, yakni riset teknis, riset praktis dan riset kritis/politis.[*] Tulisan ini akan membahas secara singkat ketiga jenis riset tersebut. Namun demikian, apa yang akan saya kemukakan ini masih ide awal yang membutuhkan banyak kritik dan penyempurnaan.
***
Seluruh uraian dalam tulisan ini didasari pemikiran bahwa perubahan apapun yang dikehendaki selayaknya berangkat dari kenyataan, bukan dari asumsi dan perhitungan-perhitungan spekulatif. Jika ditarik pada konteks gerakan, maka konsekuensinya keputusan dan strategi gerakan senantiasa berpijak pada kenyataan empiris. Itu artinya, usaha untuk mendorong perubahan harus selalu: pertama, didasari pengetahuan tentang kenyataan yang ada di masyarakat (aspek penjelasan); kedua, berangkat dari pemahaman terhadap kenyataan tersebut; dan ketiga, menghasilkan rumusan perubahan yang benar-benar berdasarkan kenyataan dan dikerjakan oleh dan untuk massa rakyat.
Buku dan sumber referensi yang bertebaran seperti sekarang memang menyediakan banyak pengetahuan yang mencakup ketiga hal tersebut. Itu tentu saja berguna, tetapi harus diingat belum tentu cocok dengan kondisi objektif masyarakat kita. Catatan keberhasilan maupun kegagalan sebuah gerakan di tempat lain memang patut diperhatikan dan dipelajari, tetapi tidak selalu bisa dijadikan rujukan dalam kerja-kerja nyata perubahan. Karena itu, selain kita harus belajar dari pengalaman masyarakat lain, juga—dan terpenting—kita memahami masyarakat kita sendiri. Pada titik itulah kita harus melakukan riset.
***
Seperti sudah disebut di awal, ada tiga jenis riset—demikian saya membahasakannya (jika kurang tepat silahkan dikritik)—yaitu riset teknis, riset praktis, dan riset kritis. Ketiga jenis riset itu tidak bisa dipisahkan sekaligus tidak bisa dicampuradukkan. Secara sederhana riset teknis adalah riset-riset konvensional dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang sesuatu. Contoh, riset untuk mengetahui prosentase jumlah penduduk yang berpendidikan dasar. Atau riset tentang berapa banyak orang yang memiliki tanah di atas 10 hektar dan di bawah itu. Dengan kalimat lain, misi utama riset ini hanya untuk memberikan gambaran kenyataan yang bersifat informatif. Dalam riset semacam ini belum ada penjelasan mengapa misalnya pendidikan masyarakat di daerah pedesaan lebih rendah dibanding masyarakat di perkotaan.
Berbeda dengan riset teknis, riset praktis tidak ditujukan untuk memperoleh gambaran di lapangan tentang suatu keadaan. Riset praktis diarahkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, misalnya mengapa kaum buruh cenderung pasrah menghadapi perlakuan yang tidak adil dari pihak majikan. Itu artinya dalam penelitian praktis kita sudah memasukkan variabel teoretis tentang suatu gejala. Namun, usaha kita tidak berhenti sampai di situ, karena dalam riset praktis harus juga ditelisik bagaimana misalnya buruh menempatkan dirinya dalam hubungan produksi dengan majikan. Lebih jauh dari itu, bagaimana kaum buruh melihat diri dan lingkungan sosialnya. Riset semacam ini berusaha menggali bagaimana realitas dilihat dari kacamata si subyek riset, yaitu buruh. Peran peneliti dalam riset praktis adalah memahami kenyataan berdasarkan cara pandang si subyek penelitian.
Jenis riset ketiga adalah riset kritis/politis. Melampaui kedua jenis penelitian di atas, riset kritis ditujukan untuk merumusakan tindakan dan langkah-langkah konkret perubahan. Dalam riset kritis pertanyaan kunci yang hendak dijawab adalah apa yang realistis untuk dilakukan setelah kita (1) memperoleh informasi tentang kondisi sosial tertentu (hasil riset teknis); dan (2) memahami bagaimana subjek-subjek yang ada didalamnya memandang kenyataan tersebut (hasil riset praktis).
***
Catatan:
[*] Tiga tataran penelitian yang saya kemukakan diadopsi dari konsep Jurgen Habermas tentang tiga kepentingan yang melekat dalam ilmu sosial.
(Bersambung)