Kamis

Pembunuhan Benazir Bhutto: Tantangan atas Perkembangan Sosialisme - Ulasan atas Catatan Alan Woods

Benazir Bhutto, pemimpin (Partai Rakyat Pakistan (Pakistan People's Party/PPP) tewas dibunuh secara brutal pada tanggal 27 Desember 2007 kemarin. “Ini benar-benar bencana bagi kemajuan sosialisme,” kata seorang kawan dengan nada geram saat menyaksikan tayangan berita peledakan bom dan tewasnya Benazir. Media Barat pada umumnya menyebutkan penyebab kematian Benazir adalah ledakan bom bunuh diri. Ada yang menyebut bukan itu penyebabnya, melainkan tembakan yang diarahkan kepada Benazir sesaat sebelum ledakan terjadi. Disebutkan juga bahwa pelaku pembunuhan adalah "mullahs" (wali) kaum fundamentalis Islam. Namun demikian, soal siapa pembunuhnya dan bagaimana detail pembunuhannya hingga tulisan ini dibuat belum jelas benar.
Terlepas dari itu, seperti dicatat oleh Woods bahwa pembunuhan yang menimpa Benazir adalah reaksi dari kaum kontra revolusioner yang tidak menghendaki adanya perubahan ekonomi-politik di Pakistan yang sudah bertahun-tahun di bawah kediktatoran militer. Datangnya gelombang dukungan dari massa pekerja (buruh) dan petani terhadap PPP—yang diyakini akan memenangkan pemilu pada 8 Januari 2008 mendatang—telah membuat khawatir kelas yang memerintah (ruling class) di Pakistas. Untuk mengobati kekhawatiran itulah mereka menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu, kata Woods, mereka yang disebut kaum fundamentalis dan jihadis—yang diduga sebagai pelaku pembunuhan Benazir—hanyalah boneka yang diperintah oleh kekuatan-kekuatan reaksioner yang bercokol dalam ruling class (kelas yang memerintah) dan aparatur negara, Pakistan Intelligence Services (ISI), serta gembong obat bius yang memiliki hubungan dengan Taliban dan rezim Saudi yang memang selalu memberikan dukungan dan mendanai setiap kegiatan kontra revolusioner di dunia.

Perang yang terjadi di Afganistan, kata Woods, telah melahirkan bencana di Pakistan. Kelas yang memerintah di Pakistan berambisi untuk mendominasi negara setelah Taliban berhasil menyingkirkan orang-orang Rusia dari Afganistan—yang dalam beberapa dekade melibatkan tentara Pakistan dan ISI didalamnya. Hingga kini mereka masih memiliki hubungan dengan Taliban dan gembong obat bius. “Banjir uang” dari hasil perdagangan obat bius itulah yang telah meracuni Pakistan hingga membuat ekonomi, masyarakat dan politiknya tidak stabil (Woods, 21/12/2007). Pembunuhan terhadap Benazir Bhuto adalah ekspresi lain dari pembusukkan, degenerasi dan korupsi yang menggerogoti Pakistan. Kesengsaraan massa (rakyat), kemiskinan, ketidakadilan adalah persoalan vital yang mendesak untuk diselesaikan di Pakistan. Massa—pekerja dan kaum tani—tidak melihat jalan keluar itu ada di tangan tuan-tuan tanah dan kaum kapitalis, melainkan di PPP, partai yang dipimpin oleh Benazir. Karenanya tidak mengherankan jika kaum kiri Pakistan berpendapat program-program Benazirlah yang dapat memberi jalan keluar dari persoalan-persoalan yang dihadapi Pakistan saat ini. Hal itu diperkuat dengan usaha-usaha kaum Marxis di tubuh PPP yang terus memperjuangkan program sosialisme yang notabene merupakan program awal PPP.

Namun demikian, harapan massa rakyat akan perubahan kehidupan di Pakistan melalui jalan pemilu pada 8 Januari 2008 mendatang diganjal dengan cara brutal, sehingga massa pun terguncang. “Rakyat meratap dan kaum perempuan menangis di rumah mereka: Aku dapat mendengar mereka sekarang,” kata seorang comrade di Karachi kepada Woods. Guncangan yang dialami massa saat ini, kata Woods, akan berubah menjadi kemarahan: “Tak ada apapun di jalan-jalan Karachi dan kota-kota lainnya. Rakyat menutup jalan dan membakar ban.” Itu adalah sebuah peringatan kepada ruling class bahwa kesabaran massa sudah habis. Gerakan massa tidak dapat dihentikan oleh satu bahkan ratusan pembunuhan.

Woods mencatat bahwa massa selalu melekat pada organisasi massa tradisionalnya. PPP dibangun dalam konteks perlawanan revolusioner pada tahun 1968—1969 tatkala pekerja dan petani berusaha mengambil kekuasaan. Ketika diktator Zia (Zia Ulhaq) membunuh ayah Benazir Bhutto (Zulfikar Ali Bhutto), hal itu tidak menghalangi kebangkitan PPP pada tahun 1980-an. Demikian pula ketika Benarzir diasingkan, tidak menyurutkan eksistensi PPP di tengah massa rakyat. Itu terbukti ketika dua sampai tiga juta orang turun ke jalan menyambut kedatangan Benazir. Menurut Woods, massa akan memulihkan dirinya dari guncangan dan kesedihan. Emosi mereka akan berubah menjadi kemarahan dan kehendak untuk membalas. Namun, kata Woods, yang diperlukan bukan pembalasan pribadi, melainkan pembalasan kolektif. Apa yang diperlukan adalah mempersiapkan massa bagi sebuah serangan revolusioner baru guna menyelesaikan persoalan-persoalan di Pakistan oleh rakyat sendiri.

Pertanyaannya, bagaimana? Menurut Woods, pemilu di Pakistan kemungkinan akan ditunda, tetapi cepat atau lambat akan terjadi. Kaum reaksioner memperhitungkan bahwa kematian Benazir akan melemahkan PPP. Itu penilaian yang sangat keliru, kata Woods. PPP tidak bisa direduksi sebagai satu individu (Benazir Bhutto), karena PPP adalah organisasi yang mengekspresikan kehendak massa demi perubahan masyarakat. Jumlah mereka jutaan. Mereka akan menemukan cara perlawanan yang efektif untuk membuat suara mereka didengar.

Lebih jauh Woods mengingatkan bahwa massa rakyat selayaknya melakukan protes yang berpuncak pada pemogokan umum: mengangkat panji demokrasi untuk melawan kediktatoran! Kepemimpinan PPP tidak boleh menyerah pada tekanan apapun selama dalam masa penundaan pemilu. Di atas itu, PPP harus kembali pada program dan prinsip-prinsip awalnya seperti terumuskan dalam program PPP: memperjuangkan transformasi sosialis yang didalamnya mencakup nasionalisasi tanah, kontrol pekerja terhadap bank-bank dan industri, mengganti tentara dengan milisi pekerja dan petani. Itulah yang harus dijalankan, karena Ide-ide tersebut tepat dan relevan untuk saat ini. Hidup Sosialisme!

Referensi: Alan Woods, Pakistan: The Assassination of Benazir Bhutto, 27 December 2007

Informasi Terkait: Hasil Pemeriksaan Tim Medis tentang Penyebab Kematian Benazir Bhutto Former Pakistani Prime Minister Benazir Bhutto Assassinated Dilema Pakistas, Militer atau Sipil